Lapar Mata dan Lapar hidung Menghambat Langsing
Selain lapar mata, kita juga mengalami apa yang disebut dengan lapar hidung dan lapar sensasi mulut. Aroma kue hangat yang baru keluar dari panggangan akan membuat kita membayangkannya meleleh di mulut.
Ketika pikiran teralihkan, hubungan kita dengan tubuh menjadi terputus. Artinya, aroma menjadi sedemikian menarik sehingga kita lupa untuk memastikan apakah kita benar-benar lapar atau tidak.
Sebetulnya lapar mata hanya butuh dipuaskan dengan keindahan. Baik warna, bentuk, maupun tampilannya. Sedangkan lapar hidung cukup dipuaskan dengan aroma yang membuat perasaan kita lebih nyaman dan damai. Tidak perlu dengan memakannya.
Salah satu contoh lain tentang lapar hidung: Yang tadinya tidak lapar, begitu melewati restoran ayam goreng cepat saji tiba-tiba menjadi ingin makan. Atau, walau sebetulnya perut sudah penuh, tiba-tiba memesan brownies ice cream cake habya karena aroma pesanan kue dari meja sebelah begitu menggoda.
Ada hal yang menarik ketika kita sedang flu. Penciuman kita tersumbat sehingga tidak dapat menikmati aroma makanan. Ketika hal itu terjadi, biasanya seseorang tidak dapat menikmati makanan dengan nyaman.
Jelas sekali bahwasanya pengaruh ‘aroma’ sangat erat kaitannya dengan nafsu makan.
Namun positifnya, begitu sensori penciuman hilang maka seseorang justru akan makan sebanyak yang diperlukan oleh tubuh saja. Dan akhirnya, sensori di lidah pun akan berfungsi dengan optimal.
Seseorang akan lebih memperhatikan ada berapa rasa didalam makanannya seperti manis, asin, asam, pedas atau pahit. Dan akhirnya tekstur makanan pun akan lebih diperhatikan. Padat, halus, kasar dan sebagainya.
Kita hidup dipenuhi oleh hasrat atas makanan. Itulah yang membantu kita untuk hidup. Kalau kita tidak memiliki hasrat untuk makan, kita akan mati. Dan hasrat ini meliputi variasi jenis makanan dan tekstur.
Brian Wansink, Ph.D, seorang profesor dan Direktur Cornell Food & Brand Lab bilang, diet terbaik adalah yang membuat kita merasa tidak sedang menjalaninya dan tidak merasa bersalah karenanya.
Rasa lapar karena alasan emosional biasanya juga bukan karena membutuhkan makan. Saat kita bosan atau sedang kecewa, kita melarikannya dengan makan atau ngemil. Kebiasaan makan seperti ini sudah terbentuk selama puluhan tahun.
Di Amerika Serikat, negara dengan tingkat obesitas penduduknya yang tinggi, pernah diadakan survei. Mereka bertanya pada pengunjung restoran All You Can Eat yang menyediakan makan sesukanya untuk sup dan salad.
Para pengunjung yang sedang menikmati makanan ditanya kapan akan berhenti memakan salad dan sup mereka. Sebagian besar berkata saat makanan di mangkok mereka sudah habis. Hanya sedikit yang bilang mereka akan berhenti bila sudah merasa tidak lagi lapar.
Maka, perhatikanlah kapasitas lambung, sensasi indera itu penting. Tapi jangan sampai terkelabui. Tanyakan pada lambung apakah ia sudah cukup atau masih ada ruang yang tersisa. Dengan begitu tubuh akan terasa lebih bersahabat dan berat badan akan terkontrol.
Baca juga: